A.
Konsep
Dasar Manajemen Kurikulum
1. Pengertian
manajemen kurikulum
Secara
etimologis, istilah kurikulum berasal dari bahasa yunani, yaitu curir yang artinya “pelari” dan curere yang berarti “tempat berpacu”.
Istilah kurikulum berasal dari dunia olah raga, terutama dalam bidang atletik
pada zaman romawi kuno. Dalam bahasa prancis, istilah kurikulum berasal dari
kata courier yang berarti berlari (to run). Kurikulum berarti suatu jarak
yang harus ditempuh oleh seorang pelari dari garis start sampai dengan finish untuk
memperoleh medali atau penghargaan[1]
Kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta bahan yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.[2]
UU.
No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa,
kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan
bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan tertentu.
Manajemen
kurikulum adalah suatu system pengelolaan kurikulum yang kooperatif,
komperhensif, sistemik, dan sistematik dalam rangka mewujudkan ketercapaian
tujuan kurikulum. Dalam pelaksanaannya, manajemen berbasis sekolah (MBS) dan kurikulum
tingkat satuan pendidikan (KTSP). Oleh karena itu, otonomi yang diberikan pada
lembaga pendidikan dalam mengelola kurikulum secara mandiri dengan
memprioritaskan kebutuhan dan ketercapaian sasaran dalam visi dan misi lembaga
pendidikan tidak mengabaikan kebijaksanaan nasional yang telah ditetapkan.
Keterlibatan
masyarakat dalam manajemen kurikulum dimaksudkan agar dapat memahami, membantu,
dan mengontrol implementasi kurikulum, sehingga lembaga pendidikan selain
dituntut kooperatif juga mampu mandiri dalam mengidentifikasi kebutuhan
kurikulum, mendesain kurikulum, mengendalikan serta melaporkan sumber dan hasil
kurikulum, baik kepada masyarakat maupun pemerintah.
2. Ruang
lingkup manajemen kurikulum
Manajemen
kurikulum merupakan bagian integral dari kurikulum tingkat satuan pendidikan
(KTSP) dan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Lingkup manajemen kurikulum
meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan evaluasi kurikulum.
Pada tingkat satuan pendidikan kegiatan kurikulum lebih mengutamakan untuk
merealisasikan dan merelevansikan antara kurikulum nasional (standar
kompetensi/kompetensi dasar) dengan kebutuhan daerah dan kondisi sekolah yang
bersangkutan, sehingga kurikulum tersebut merupakan kurikulum yang integritas
dengan peserta didik maupun dengan lingkungan dimana sekolah itu berada.
3. Prinsip
dan fungsi manajemen kurikulum
Terdapat
lima prinsip yang harus diperhatikan dalam melaksanakan manajemen kurikulum, yaitu :
a. Produktivitas, hasil
yang akan diperoleh dalam kegiatan kurikulum merupakan aspek yang harus
dipertimbangkan dalam manajemen kurikulum. Pertimbangan bagaimana agar peserta
didik dapat mencapai hasil belajar sesuai dengan tujuan kurikulum harus menjadi
sasaran dalam manajemen kurikulum.
b. Demokratisasi, pelaksanaan
manajemen kurikulum harus berasaskan demokrasi, yang menempatkan pengelola,
pelaksana dan subjek didik pada posisi yang seharusnya dalam melaksanakan tugas
dengan penuh tanggung jawab untuk mencapai tujuan kurikulum
c. Kooperatif, untuk
memperoleh hasil yang diharapkan dalam kegiatan manajemen kurikulum, perlu
adanya kerja sama yang positif dari berbagai pihak yang terlibat.
d. Efektivitas dan efisiensi, rangkaian
kegiatan manajemen kurikulum harus mempertimbngkan efektivitas dan efisiensi
untuk mencapai tujuan kurikulum sehingga kegiatan manajemen kurukulum tersebut sehingga
memberikan hasil yang berguna dengan biaya, tenaga, dan waktu yang relative
singkat.
e. Mengarahkan visi, misi dan tujuan yang
ditetapkan dalam kurikulum, proses manajemen kurikulum harus dapat memperkuat
dan mengarahkan visi, misi, dan tujuan kurikulum.[3]
Selain
prinsip-prinsip
tersebut juga perlu dipertimbangkan kebijaksanaan pemerintah maupun departemen
pendidikan, seperti USPN No. 20 tahun 2003, kurikulum pola nasional, pedoman
penyelenggaraan program, kebijaksanaan penerapan Manajemen Berbasis Sekolah,
kebijaksanaan penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, keputusan dan
peraturan pemerintah yang berhubungan dengan lembaga pendidikan atau jenjang/
jenis sekolah yang bersangkutan.
Dalam
proses pendidikan perlu dilaksanakan manajemen kurikulum agar perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi kurikulum berjalan dengan efektif, efisien, dan
optimal dalam memberdayakan berbagai sumber belajar, pengalaman belajar, maupun
komponen kurikulum. Ada beberapa fungsi dari manajemen kurikulum di antaranya
sebagai berikut :
a. Meningkatkan
efisiensi pemanfaatan sumber daya kurikulum, pemberdayaan sumber maupun
komponen kurikulum dapat ditingkatkan melalui pengelolaan yang terencana dan
efektif.
b. Meningkatkan
keadilan (equality) dan kesempatan
pada siswa untuk mencapai hasil yang maksimal, kemampuan yang maksimal dapat
dicapai peserta didik tidak hanya melalui kegiatan intrakurikuler, tetapi juga
perlu melalui kegiatan ekstra dan kokurikuler yang dikelola secara integritas
dalam mencapai tujuan kurikulum.
c. Meningkatkan
relevansi dan efektivitas pembelajaran sesuai dengan kebutuhan peserta didik
maupun lingkungan, kurikulum yang dikelola secara efektif dapat memberikan
kesempatan dan hasil yang relevan dengan kebutuhan peserta didik maupun
lingkungan sekitar.
d. Meningkatkan
efektivitas kinerja guru maupun aktivitas siswa dalam mencapai tujuan
pembelajaran, pengelolaan kurikulum yang professional, efektif, dan terpadu
dapat memberikan motivasi pada kinerja guru maupun aktivitas siswa dalam
belajar.
e. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses
belajar mengajar, proses pembelajaran selalu dipantau dalam rangka melihat
konsistensi antara desain yang telah direncanakan dengan pelaksanaan
pembelajaran. Dengan demikian, ketidaksesuaian antara desain dengan
implementasi dapat dihindarkan. Disamping itu, guru maupun siswa selalu
termotivasi untuk melaksanakan pembelajaran yang efektif dan efisien karena
adanya dukungan kondisi positif yang diciptakan dalam kegiatan pengelolaan
kurikulum.
f. Meningkatkan
partisipasi masyarakat untuk membantu pengembangan kurikulum, kurikulum yang
dikelola secara professional akan melibatkan masyarakat, khususnya dalam
mengisi bahan ajar atau sumber belajar perlu disesuaikan dengan ciri khas dengan
kebutuhan pembangunan daerah setempat.[4]
B.
Manajemen
Perencanaan Kurikulum
Maksud
dari majemen dalam perencanaan kurikulum adalah keahlian “managing” dalam arti kemampuan merencanakan dan mengorganisasikan
kurikulum. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses perencanaan kurikulum
adalah siapa yang bertanggung jawab dalam perencanaan kurikulum, dan bagaimana
perencanaan kurikulum itu direncanakan secara professional.
Hal
yang pertama dikemukakan berkenaan dengan kenyataan adanya gap atau jurang
antara ide-ide strategi dan pendekatan yang dikandung oleh suatu kurikulum
dengan usaha-usaha implementasinya. Gap ini disebabkan oleh masalah
keterlibatan personal dalam perencanaan kurikulum. Keterlibatan personal ini
banyak bergantung pada pendekatan perencanaan kurikulum yang dianut.
Pada
pendekatan yang bersifat “administrative
approach” kurikulum direncanakan oleh
pihak atasan kemudian diturunkan kepada instansi-instansi bawahan sampai kepada
guru-guru. Jadi form the top down,
dari atas ke bawah atas inisiatif administrator. Dalam kondisi ini guru-guru
tidak dilibatkan. Mereka lebih bersifat pasif yaitu sebagai penerima dan
pelaksana di lapangan.semua ide, gagasan dan inisiatif berasal dari pihak
atasan.[5]
Sebaliknya
pada pendekatan yang bersifat “grass
roots approach” yaitu yang dimulai
dari bawah, yakni dari pihak guru-guru atau sekolah-sekolah secara individual
dengan harapan bias meluas ke sekolah-sekolah lain. Kepala sekolah serta
guru-guru dapat merencanakan kurikulum atau perubahan kurikulum karena melihat
kekurangan dalam kurikulum yang berlaku. Mereka tertarik ole hide-ide baru
mengenai kurikulum dan bersedia menerapkannya di sekolah mereka untuk
meningkatkan mutu pelajaran.
Dengan
bertindak dari pandangan bahwa guru adalah manager (the teacher as manager) J.G Owen sangat menekankan perlunya
keterlibatan guru dalam perencanaan kurikulum. Guru harus ikut bertanggung
jawab dalam perencanaan kurikulum Karena dalam praktek mereka adalah
pelaksana-pelaksana kurikulum yang sudah disusun bersama.[6]
Di
Inggris gagasan ini berwujud dalam bentuk “teacher’s
centeres” yang dibentuk secara local sebagai tempat guru-guru bertemu dan
berdiskusi tentang pembaharuan pendidikan. Disamping guru-guru berkumpul juga
pengajar dari perguruan tinggi, pengusaha dan para konsumen lulusan sekolah.
Masalah
yang kedua, bagaimana kurikulum direncanakan secara professional, J.G Owen
lebih menekankan pada masalah bagaimana menganalisis kondisi-kondisi yang perlu
diperhatikan sebagai factor yang berpengaruh dalam perencanaan kurikulum.
Terdapat
dua kondisi yang perlu dianalisis setiap perencanaan kurikulm:
1. Kondisi
sosiokultural
Kemampuan
professional manajerial menuntut kemampuan untuk dapat mengolah atau
memanfaatkan berbagai sumber yang ada di masyarakat, untuk dijadikan
narasumber. J.G Owen menyebutkan peranan para ahli behavior science, karena kegiatan pendidikan merupakan kegiatan
behavioral dimana di dalamnya terjadi berbagai interaksi social antara guru
dengan murid, murid dengan murid, dan atau guru dengan murid dengan
lingkungannya.
2. Ketersediaan
fasilitas
Salah
satu penyebab gap antara perencana kurikulum dengan guru-guru sebagai praktisi
adalah jika kurikulum itu disusun tanpa melibatkan guru-guru, dan terlebih para
perencana kurang atau bahkan tidak memperhatikan kesipan guru-guru di lapangan.
Itulah sebabnya J.G Owen menyebutkan perlunya pendekatan “from the bottom up”, yaitu pengembangan kurikulum yang berasal
dari bawah ke atas.[7]
Menurut
Peter F. Olivia,
Perencanaan kurikulum terjadi pada
berbagai tingkatan, dan kurikulum pekerja-guru, pengawas, administrator, atau
lainnya dapat terlibat dalam upaya kurikulum pada beberapa tingkat pada waktu
yang sama. semua guru yang terlibat dalam perencanaan kurikulum di tingkat
kelas, guru yang paling berpartisipasi dalam kurikulum. tingkat perencanaan di
mana fungsi guru dapat dikonseptualisasikan sebagai sosok yang ditunjukkan.[8]
1. Karakteristik
Perencanaan Kurikulum
Perencanaan
kurikulum adalah perencanaan kesempatan belajar yang dimaksudkan untuk membina
siswa/ peserta didik ke arah perubahan tingkah laku yang diinginkan dan menilai
hingga mana perubahan-perubahan yang terjadi pada diri siswa/ peserta didik.
Kurikulum adalah semua pengalaman yang mencakup yang diperoleh baik dari dalam
maupun dari luar lembaga pendidikan, yang telah direncanakan secara sistematis
dan terpadu, yang bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik mencapai tujuan
pendidikan.
Tujuan
perencanaan kurikulum dikembangkan dalam bentuk kerangka teori dan penelitian
terhadap kekuatan social, pengembangan masyarakat, kebutuhan, dan gaya belajar
siswa. Beberapa keputusan harus dibuat ketika merencanakan kurikulum dan
keputusan tersebut harus mengarah pada spesifikasi berdasarkan criteria.
Merencanakan pembelajaran merupakan bagian yang sangat penting dalam
perencanaan kurikulum karena karena pembelajaran mempunyai pengaruh terhadap
siswa daripada kurikulum itu sendiri. [9]
Pimpinan
perlu menyusun perencanaan secara cermat, teliti, menyeluruh dan rinci, karena
memiliki multi fungsi sebagai berikut :
a. Perencanaan
kurikulum berfungsi sebagai pedoman atau alat manajemen, yang berisi petunjuk
tentang jenis dan sumber peserta yang diperlukan, media penyampaiannya,
tindakan yang perlu dilakukan, sumber biaya, tenaga, sarana yang diperlukan,
system control dan evaluasi, peran unsur-unsur ketenagaan untuk mencapai tujuan
manajemen organisasi.
b. Berfungsi
sebagai penggerak roda organisasi dan tata laksana untuk menciptakan perubahan
dalam masyarakat sesuai dengan tujuan organisasi. Perencanaan kurikulum yang
matang besar sumbangannya terhadap pembuatan keputusan oleh pimpinan, dan oleh
karenanya perlu memuat informasi kebijakan yang relevan, disamping seni
kepemimpinan dan pengetahuan yang telah dimilikinya.
c. Sebagai
motivasi untuk melaksanakan system pendidikan sehingga mencapai hasil optimal.[10]
2. Model
Perencanaan Kurikulum
Perencanaan
kurikulum adalah suatu proses social yang kompleks yang menuntut berbagai jenis
dan tingkat pembuatan keputusan kebutuha
mendiskusikan dan mengkoordinasikan proses menghendaki penggunaan
model-model untuk menyajikan aspek-aspek kunci kendatipun penyajian tersebut
pada gilirannya harus menyederhanakan banyak aspek dan mungkin mengabaikan
beberapa aspek lainnya.sebagaimana dengan model-model pembuatan keputusan
umumnya, maka rumusan suatu model perencanaan berdasarkan asumsi-asumsi
rasionalitas yakni asumsi tentang pemrosesan secara cermat informasi misalnya
tentang mata ajaran, siswa, lingkungan, dan hasil belajar.
Beberapa
model perencanaan, yaitu :
a. Model
perencanaan rasional deduktif atau rasional
tyler, menitik beratkan logika dalam merancang program kurikulum dan
bertitik tolak dari spesifikasi tujuan (goals
and objectives) tetapi cenderung mengabaikan problematika dalam lingkungan
tugas. Model itu dapat diterapkan pada semua tingkat pembuatan keputusan,
misalnya rasionalisasi proyek pengembangan guru, atau menentukan kebijakan
suatu planning by objecktives di
lingkungan departemen. Model ini cocok un tuk system perencanaan pendidikan
yang sentralistik yang menitikberatkan pada system perencanaan pusat, dimana
kurikulum dianggap sebagai suatu alat untuk mengembangkan/ mencapai
maksud-maksud di bidang social ekonomi.
b. Model
interaktif rasional (the rational
interactive model), memandang rasionalitas sebagai tuntutan kesepakatan
antara pendapat-pendapat yang berbeda, yang tidak mengikuti urutan logic.
Perencanaan kurikulum dipandang suatu masalah lebih “perencanaan dengan” (planning with) daripada perencanaan
bagi (planning for). Seringkali model
ini dinamakan model situasional, asumsi rasionalitasnya menekankan pada respon fleksibel
kurikulum yang tidak memuskan dan inisiatif pada tingkat sekolah atau tingkat
local. Hal ini mungkin merupakan suatu refleksi suatu keyakinan ideologis
masyarakat demokrasi atau pengembangan kurikulum berbasis sekolah. Implementasi
rencana merupakan fase krusial dalam pengembangan kurikulum, dimana diperlukan
saling beradaptasi antara perencana dan pengguna kurikulum.
c. The Diciplines Model, perencanaan
ini menitikberatkan pada guru-guru, mereka sendiri yang merencanakan kurikulum
berdasarkan pertimbangan sistematik tentang relevansi pengetahuan filosofis,
(issu-issu pengetahuan yang bermakna), sosiologi (argument-argumen
kecenderungan social), psikologi (untuk memberitahukan tentang urutan-urutan
materi pelajaran)
d. Model
tanpa perencanaan (non planning model), adalah
suatu model berdasarkan pertimbangan-pertimbangan intuitif guru-guru di dalam
ruangan kelas sebagai bentuk pembuatan keputusan, hanya sedikit upaya kecuali
merumuskan tujuan khusus, formalitas pendapat, dan analisis intelektual.
Keempat
model perencanaan kurikulum yang dikemukakan di atas sesungguhnya merupakan
tipe-tipe yang ideal (ideal types)
dan bukan model-model perencanaan kurikulum actual. Umumnya perencanaan
kurikulum mengandung keempat aspek model tersebut. Namun untuk membedakannya
antara satu dengan yang lainnya, diperlukan analisis variable kebermaknaan bagi
praktek perencanaan. Asumsi-asumsi rasionalitas tersebut perlu disadari dalam
kaitannya dengan cara memproses informasi sebagai refleksi posisi-posisi social
dan ideologis yang mengatur perencanaan kurikulum.
3.
Organisasi
Kurikulum
Organisasi kurikuluam adalah struktur program
kurikulum yang berupa kerangka umum program-program pengajaran yang akan
disampaikan kepada peserta didik. Struktur program ini merupakan dasar yang
cukup esensial dalam pembinaan kurikulum dan berkaitan erat dengan tujuan
program pendidikan yang hendak dicapai.
Kurikulum
lebih luas daripada sekedar rencana pelajaran, tetapi meliputi segala
pengalaman atau proses belajar siswa yang direncanakan dan dilaksanakan di
bawah bimbingan lembaga pendidikan. Artinya bahwa, kurikulum bukan hanya berupa
dokumen bahan cetak, melainkan rangkaian aktivitas siswa yang dilakukan dalam
kelas, di laboratorium, di lapangan, maupun di lingkungan masyarakat yang
direncanakan serta dibimbing oleh sekolah. Suatu kurikulum harus memuat
pernyataan tujuan, menunjukkan pemilihan dan pengorganisasian bahan pelajaran
serta rancangan penilaian hasil belajar. Bahkan kurikulum harus merupakan bahan
pelajaran atau mata pelajaran yang dipelajari siswa, program pembelajaran,
hasil pembelajaran yang diharapkan, reproduksi kebudayaan, tugas dan konsep
yang mempunyai cirri-ciri tersendiri, agenda untuk rekonstruksi social, serta
memberikan bekal untuk kecakapan hidup.
Salah
satu aspek yang perlu dipahami dalam pengembangan kurikulum adalah aspek yang
berkaitan dengan organisasi kurikulum. Organisasi kurikulum merupakan pola atau
desain bahan kurikulum yang tujuannya untuk memprmudah siswa dalam mempelajari
bahan pelajaran serta mempermudah siswa dalam melakukan kegiatan belajar
sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif.
Organisasi
kurikulum sangat terkait dengan pengaturan bahan pelajaran yang ada dalam
kurikulum, sedangkan yang menjadi sumber bahan pelajaran dalam kurikulum adalah
nilai budaya, nilai social, aspek siswa dan masyarakat serta ilmu pengetahuan
dan teknologi. Ada beberapa factor yang harus dipertimbangkan dalam organisasi
kurikulum, di antaranya berkaitan dengan ruang lingkup (scope), urutan bahan (sequence),
kontinuitas, keseimbangan dan keterpaduan (integrated).[11]
Menurut
Evelyn J. Sowell
konsep organisasi kurikulum :
1. Subject
matter designs:
a. Single
subject designs
b. Correlated
subjects
c. Broad
fields
d. Interdisciplinary
integrated studies
e. Thematic
instruction
2. Society-culture-based
designs/social function and activities designed
3. Learner-based
designed:
a. Organic
curriculum
b. Development
curriculum
4. Other
desigs:
a. Technology
as curriculum
b. School-to-work
curriculum
c. Core
curriculum[12]
4.
Pelaksanaan
Kurikulum
Pembinaan
kurikulum pada dasarnya adalah usaha pelaksanaan kurikulum di sekolah,
sedangkan pelaksanaan kurikulum itu sendiri direalisasikan dalam proses belajar
mengajar sesuai dengan prinsip-prinsip dan tuntutan kurikulum yang telah
dikembangkan sebelumnya bagi suatu jenjang pendidikan atau sekolah-sekolah
tertentu.
Pokok-pokok
kegiatan tersebut dapat dikelompokkan menjadi 9 pokok kegiatan, yaitu :
1. Kegiatan
yang berhubungan dengan tugas kepala sekolah
2. Kegiatan
yang berhubungan dengan tugas guru
3. Kegiatan
yang berhubungan dengan murid
4. Kegiatan
yang berhubungan dengan proses belajar mengajar
5. Kegiatan-kegiatan
ekstra kurikuler
6. Kegiatan
pelaksanaan evaluasi
7. Kegiatan
pelaksanaan pengaturan alat
8. Kegiatan
dalam bimbingan dan penyuluhan
9. Kegiatan
yang berkenaan dengan usaha peningkatan mutu professional guru.[13]
Pelaksanaan
kurikulum dibagi menjadi dua tingkatan yaitu pelaksanaan kurikulum tingkat
sekolah dan tingkat kelas. Dalam tingkat sekolah yang berperan adalah kepala
sekolah, dan pada tingkatan kelas yang berperan adalah guru. Walaupun dibedakan
antara tugas kepala sekolah dan tugas guru dalam pelaksanaan kurikulum serta
diadakan perbedaan dalam tingkat pelaksanaan administrasi, yaitu tingkat kelas
dan tingkat sekolah, namun antara kedua tingkat dalam pelaksanaan administrasi
kurikulumtersebut senantiasa bergandengan dan bersama-sama bertanggungjawab
melaksanakan proses administrasi kurikulum.
a. Pelaksanaan
kurikulum tingkat sekolah
Pada
tingkatan sekolah, kepala sekolah bertanggung jawab melaksanakan kurikulum di
lingkungan sekolah yang dipimpinnya. Kepala sekolah berkewajiban melakukan
kegiatan-kegiatan yakni menyusun rencana tahunan, menyusun jadwal pelaksanaan
kegiatan, memimpin rapat dan membuat notula rapat, membuat statistic dan
menyusun laporan.
b. Pelaksanaan
kurikulum tingkat kelas
Pembagian
tugas guru harus diatur secara administrasi untuk menjamin kelancaran
pelaksanaan kurikulum lingkungan kelas. Pembagian tugas-tugas tersebut meliputi
tiga jenis kegiatan administrasi, yaitu :
1) Pembagian
tugas mengajar
2) Pembagian
tugas pembinaan ekstra kurikuler
3) Pembagian
tugas bimbingan belajar
5.
Pengembangan
Kurikulum
Pengembangan
kurikulum harus dilandasi oleh manajemen berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
multidimensional, yaitu :
1) Manajemen
sebagai suatu disiplin ilmu sangat erat kaitannya dengan disiplin ilmu-ilmu
lainnya, seperti filsafat, psikologi, social budaya, sosiologi dan teknologi,
bahkan ilmu manajemen bayak mendapat konstribusi dari ilmu-ilmu yang lain.
Banyak teori, konsep dan pendekatan dalam ilmu manajemen memberikan masukan
teoritik dan fundamental bagi pengembangan kurikulum. Itu sebabnya secara
konseptual teoritik ilmu manajemen harus menjadi landasan penting dalam
pengembangan kurikulum. Hal ini tampak jelas konstribusi pengembangan
fungsi-fungsi manajemen dalam proses pengembangan kurikulum, yang pada dasarnya
sejalan dengan proses manajemen itu sendiri.
2) Para
pengembang kurikulum mengikuti pola dan alur piker yang singkron dengan pola
dan struktur berpikir dalam manajemen. Proses pengembangan tersebut sejalan
dengan proses manajemen yakni kegiatan pengembangan dimulai dari proses
perencanaan, pengorganisasian, implementasi dan control serta perbaikan. Oleh
sebab itu setiap tenaga pengembang kurikulum seyogyanya menguasai ilmu
manajemen.
3) Implementasi
kurikulum sebagai bagian integral dalam pengembangan kurikulum yang membutuhkan
konsep-konsep prinsip-prinsip dan prosedur serta pendekatan dalam manajemen.
Implementasi kurikulum menuntut pelaksanaan pengorganisasian, koordinasi
motivasi, pengawasan, system penunjang serta system komunikasi dan monitoring
yang efektif, secara berasal dari ilmu manajemen. Dengan kata lain, tanpa memberdayakan
konsep-konsep manajemen secara tepat guna, maka implementasi kurikulum tidak
berlangsung secara efektif.
4) Pengembangan
kurikulm tidak lepas bahkan sangat erat kaitannya dengan kebijakan dibidang
pendidikan, yang bersumber dari kebijakan pembangunan nasional, kebijakan
daerah, serta berbagai kebijakan sektoral.
5) Kebutuhan
manajemen di sector bisnis dan industry, misalnya kebutuhan tenaga terampil
yang mampu meningkatkan produktivitas perusahaan, kebutuhan demokratisasi di
lingkungan semua bentuk dan jenis organisasi, adanya perspektif yang
menitikberatkan pada sector manusiawi dalam proses manajemen, serta berbagai
perspektif lainnya. Pada gilirannya, memberikan pengaruh penting dalam kegiatan
pengembangan kurikulum.
6.
Evaluasi
Kurikulum
Evaluasi merupakan bagian dari
sistem manajemen yaitu perencanaan, organisasi, pelaksanaan, monitoring dan
evaluasi. Kurikulum juga dirancang dari tahap perencanaan, organisasi kemudian pelaksanaan
dan akhirnya monitoring dan evaluasi. Tanpa evaluasi, maka tidak akan
mengetahui bagaimana kondisi kurikulum tersebut dalam rancangan, pelaksanaan
serta hasilnya.
1. Pengertian
Evaluasi kurikulum
Menurut
S hamid, evaluasi kurikulum dan evaluasi pendidikan memiliki karakteristik yang
tak terpisahkan. Karakteristik itu adalah lahirnya berbagai defenisi untuk
suatu istilah teknis yang sama. Demikian juga dengan evaluasi yang diartikan
oleh berbagai pihak dengan berbagai pengertian.hal tersebut disebabkan oleh
filosofi keilmuan seorang yang berpengaruh terhadap metodologi evaluasi, tujuan
evaluasi, dan pada gilirannya terhadap pengertian evaluasi.
Rumusan
evaluasi menurut Gronlund adalah suatu proses yang sistematis dari pengumpulan,
analisis dan interpretasi informasi/ data untuk menentukan sejauhamana siswa
telah mencapai tujuan pembelajaran. Sementara itu, Hopkins dan Antes
mengemukakan evaluasi adalah pemeriksaan secara terus menerus untuk mendapatkan
informasi yang meliputi siswa, guru, program pendidikan, dan proses belajar
mengajar untuk mengetahui tingkat perubahan siswa dan ketepatan keputusan
tentang gambaran siswa dan efektivitas program.
Menurut
tyler, evaluasi berfokus pada upaya untuk menentukan tingkat perubahan yang
terjadi pada hasil belajar. Hasil belajar tersebut biasanya diukur dengan tes.
Tujuan evaluasi menurut tyler, untuk menentukan tingkat perubahan yang terjadi,
baik secara statistic, maupun secara edukatif.[14]
Sementara
itu McDonald berpendapat bahwa evaluation
is the process of conceiving, obtaining and communicating information for the
guidance of educational decision making with regard to a specified programme,[15] hal senada dikemukakan oleh Stake
tentang konsep responsive evaluation, yaitu
pada hakikatnya evaluasi yang responsive, apabila secara langsung berorientasi
pada kegiatan-kegiatan program, memberikan sambutan terhadap informasi yang
diperlukan oleh audiens, dan nilai perspektifnya disajikan dalam laporan
tentang keberhasilan program/kurikulum.[16]
Berdasrkan
beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa evaluasi lebih bersifat komperhensif
yang di dalamnya meliputi pengukuran. Disamping itu, evaluasi pada hakikatnya
merupakan suatu proses membuat keputusan tentang nilai suatu objek. Keputusan
evaluasi hanya didasarkan pada hasil pengukuran, dapat pula didasarkan pada
suatu hasil pengamatan.
2.
Masalah dalam Evaluasi Kurikulum
Norman dan Schmidt 2002 mengemukakan
ada beberapa kesulitan dalam penerapan evaluasi kurikulum , yaitu : 6
a. Kesulitan dalam pengukuran, Dasar
teori yang melatarbelakangi kurikulum lemah akan mempengaruhi evaluasi
kurikulum tersebut. Ketidakcukupan teori dalam mendukung penjelasan terhadap
hasil intervensi suatu kurikulum yang dievaluasi akan membuat penelitian
(evaluasi kurikulum) tidak baik.
- Kesulitan dalan penerapan randomisasi dan double blind. Kesulitan melakukan penelitian evaluasi kurikulum dengan metode randomisasi dapat disebabkan karena subjek penelitian yang akan diteliti sedikit atau kemungkinan hanya institusi itu sendiri yang melakukannya. Apabila intervensi yang digunakan hanya pada institusi tersebut maka timbul pertanyaan, “apakah mungkin mencari kelompok kontrol dan randomisasi?”. Selain itu intervensi pendidikan yang dilakukan tidak memungkinkan dilakukan Blinded Dalam penelitian pendidikan khususnya penelitian evaluasi kurikulum, ditemukan kesulitan dalam menerapkan metode blinded dalam melakukan intervensi pendidikan. Dengan tidak adanya blinded maka subjek penelitian mengetahui bahwa mereka mendapat intervensi atau perlakuan sehingga mereka akan melakukan dengan serius atau sungguh-sungguh. Hal ini tentu saja dapat mengakibatkan bias dalam penelitian evaluasi kurikulum.
- Kesulitan dalam menstandarkan intervensi dalam pendidikan. Dalam dunia pendidikan sulit sekali untuk menseragamkan sebuah perlakuan contohnya penerapan PBL yang mana memiliki berbagai macam pola penerapan. Norman (2002) mengemukakan tidak ada dosis yang standar atau fixed dalam intervensi pedidikan. Hal ini berbeda untuk penelitian di biomed seperti pengaruh obat terhadap suatu penyakit, yang mana dapat ditentukan dosis yang fixed. Berbeda dengan penelitian evaluasi kurikulum misalnya pengaruh PBL terhadap kemamuan Self Directed Learning (SDL). Penerapan PBL di berbagai FK dapat bermacam-macam. Kemungkinan penerapan SDL dalam PBL di FK A 50 % , sedangkan di FK B adalah 70 % , maka apabila mereka dijadikan subjek penelitian maka tentu saja pengaruh PBL terhadap SDL akan berbeda.
- Pengaruh intervensi dalam pendidikan mudah dipengaruhi oleh faktor-faktor lain sehingga pengaruh intervensi tersebut seakan-akan lemah.[17]
[1]Zainal Arifin, , Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, (Cet.
I; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya; 2011), p. 2.,
[2]Rusman, Manajemen Kurikulum, (Seri II; Jakarata: PT. Raja Grafindo Persada :
2009), p. 3.,
[3] Ibid., p.4.,
[4] Ibid., p. 5
[5] Oemar H Malik, Manajemen Pengembangan Kurikulum, (Cet.
IV; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya : 2010), p. 150.,
[6] Oemar H Malik, Loc Cit.
[7] Ibid., p. 151.,
[8] Peter F. Olivia, Development The
Curriculum, (Edisi VI; New York: Pearso Education,Inc, 2004), p.46-47
[9] Rusman, Op. Cit. p., 21
[10] Oemar H Malik, Op.Cit. p. 152
[11]
Rusman, Loc. Cit. p. 60.,
[12]
Evelyn J. Sowell, Curriculum An
Integrative introduction, (Edisi
III; New York: Pearso Education,Inc), p.135
[13] Ibid., p. 169.,
[14] Ibid., Op. Cit
[15]John D McNeil, Curriculum: A Comprehensif Introduction,
(London: Scott, Foresman/Litle, Brown Higher Education, 1990), p
[16]Stake E Robert, The Countenance of Education Evaluation, (Teacher
College 68, 1967), p.
[17]Norman, G.R, Schdmidt H.G. Effectiveness of problem based learning curricula: theory, practice and
paper darts, (Medical Education 2000), p.721
Tidak ada komentar:
Posting Komentar